“Rasa takut itu pasti ada ya. Hanya saja karena saya sudah niat, maka saya tidak boleh berhenti. Alhamdulilah, setelah mengenyahkan rasa takut itu saya berhasil menuntaskan perjalanan sepeda saya.” Begitu kata Aristi Prajwalita, seorang srikandi pesepeda jarak jauh ketika ditanya soal rasa takut saat touring dalam acara “Talkshow 12 Jejak Kayuhan Terbaik” di Bentara Budaya Jakarta, 29 Mei 2013.
Bahkan ia pernah menangis di pinggir trotoar melihat perjalanannya seakan tak berkesudahan. Saat itulah ia teringat Ibunya. Pikirannya menerawang jauh ke Indonesia. Ya, saat itu Aristi sedang solo touring ke Kamboja. “Padahal tiga kilometer lagi akan sampai kota terdekat,” ujar Aristi.
Ibu adalah sosok yang ingin disembunyikan Aristi saat ia menjalani solo touring. “Saya takut tidak diberi izin,” katanya seperti dituturkan kepada majalah Intisari. Alhasil, ketika mempersiapkan solo touring yang pertamanya, Aristi bergerak dalam alunan yang senyap. Bolak-balik ke bengkel tanpa diketahui orangtuanya. “Saya harus bisa memperbaiki sepeda sendiri jika terjadi kendala nanti. Makanya, saya sering ke bengkel untuk melihat bagaimana memperbaiki suatu persoalan yang terjadi pada sepeda.”
Sayang, indera seorang ibu mencium gelagat itu. Akhirnya Aristi tidak bisa mengelak dan Ibunya pun membolehkan ia solo touring. Dengan catatan: setiap menemani arisan Aristi harus memakai rok. Sementara restu dari ayahnya diberikan dengan syarat tidak antarnegara. Saat itu Aristi mengiyakan saja karena tak berpikiran bahwa ia bisa mengayuh pedal sejauh itu.
(Namun dalam perjalanan syarat dari sang ayah tidak terlaksana. Ia menyeberang perbatasan karena merasa sayang sudah sampai di perbatasan. Ayahnya tahu Aristi menyeberang perbatasan dari Suara Pembaruan. Ayahnya langsung menelepon Aristi, yang kemudian dijelaskan alasan ia menyeberang perbatasan.)
***
Ada kisah mendebarkan yang dialami Aristi saat melintas di wilayah Pattani, Thailand Selatan. Pemandangannya sangat bagus. Dari arah Malaysia, sebelah kanan laut, sementara sebelah kiri pegunungan. Jalanan naik turun. Banyak blokade tentara, mulai dari Narathiwat, Sai Buri, hingga Nong Chick. Jalanan sepi.
Tiba-tiba dari belakang ada motor yang menyejajari Aristi. Pengendaranya seorang perempuan membawa senapan. Dari gerak dan bahasa tubuh perempuan itu menyuruh Aristi untuk kembali ke highway. Meski jalur yang dilalui Aristi terdapat di peta, namun ini bukan jalur utama. Aristi tidak mau dan akhirnya perempuan itu mengirimkan sinyal untuk berhati-hati lalu pergi melanjutkan perjalanannya. Sepanjang jalan itu Aristi sangat menikmati pemandangan karena sepinya lalu lintas. Ia malah sempat memasak makanan di pinggir jalan.
Aristi baru mengerti mengapa jalanan sepi setelah ia tiba di Bangkok. Temannya kaget begitu tahu Aristi lewat Pattani. “Itu ‘kan sedang dilakukan penyapuan ranjau! Dua hari lalu sempat ramai karena terjadi tembak-tembakan antara tentara Thailand dan kaum separatis,” Aristi menirukan kekagetan temannya itu. Mendengar cerita itu Aristi langsung lemas.
“Kadang-kadang ketidaktahuan itu anugerah,” ujar Aristi. Seandainya ia tahu dari awal, tentu ia tidak akan melewati jalur itu. Akan ada banyak pertimbangan jika harus melewati jalur itu. Baginya, tidak tahu kadang lebih bagus daripada tahu terlalu banyak.
Berhubung waktunya fleksibel, maka Aristi tidak terbebani oleh jarak. Di awal perjalanan ia membatasi gowesannya tak lebih dari 100 km. Baru hari keempat dan seterusnya ia berani menempuh jarak di atas 100 km.
Kebebasan itu ditunjang oleh akomodasi yang dilakukan: mendirikan tenda. Berhubung sepanjang jalan tidak ada tempat khusus bertenda, Aristi pun menyasar halaman tempat ibadah. Kalau tidak masjid, ya vihara. Masjid banyak ditemui di Malaysia, sedangkan vihara di Thailand. Nah, di Vietnam agak sedikit susah mencari tempat mendirikan tenda. Vihara agak jauh letaknya, sedangkan halaman rumah penduduk sempit. Akhirnya ia memutuskan menginap di penginapan murah semacam youth hostel. Begitu juga dengan di Kamboja.
Kendala bahasa tak menjadi alangan. Banyak penduduk di Vietnam dan Kamboja yang tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Akhirnya bahasa “tarzan”-lah yang dipakai. Toh komunikasi bisa berjalan juga. Aristi lalu akan diberi penjelasan tempat mana yang boleh digunakan untuk mendirikan tenda.
“Di Cina malah susah untuk mendirikan tenda. Lalu kalau menginap harus di hotel bintang tiga ke atas karena aku dianggap sebagai wisatawan. Dan tidak murah menginap di hotel. Setidaknya keluar uang sekitar Rp500 ribu.”
Karena tak bisa mendirikan tenda dan tak mungkin terus menerus menginap di penginapan, Aristi pun menyiasati saat touring ke Cina ini. Misalnya dengan menaruh sepeda dan perbekalannya di loker stasiun kereta api lalu ia nongkrong di rumah makan cepat saji macam McDonald yang buka 24 jam. Tidurnya dilakukan sambil duduk. Tidak nyaman memang, tapi itulah siasat untuk berhemat.
Lain kali Aristi tidur di peron stasiun kereta api bersama gelandangan. Ketika saatnya tidur tiba ia membuka sleeping bag dan meringkuk di dalamnya. Naasnya, saat itu Cina sedang musim gugur namun diserang badai Megy. Alhasil suhu udara bisa anjlok sampai 3 derajat Celcius. “Terpaksa aku beli baju-baju polar. Pengeluaran ekstra deh, haha….” Niat mau ngirit malah kejepit.
Kala lain ia menginap di rumah penduduk, seperti dialaminya saat di perbatasan Cina – Vietnam. Rumahnya masih semipermanen. Agak sedikit kaget Aristi sebab ternyata penduduk lokal sangat terbuka dengan kedatangannya. Hal seperti itu yang menguatkan Aristi bahwa apa yang dialami orang lain belum tentu sama dengan apa yang kita alami. “Sebelum touring ke Cina ada yang bilang, jangan masuk Cina lewat darat. Nanti ada banyak penjahat” Kenyatannya, Aristi relatif tidak ada gangguan saat masuk ke Cina.
Namun bukan berarti bahaya tak mengancam. Aristi menyadari bahwa sendiri, perempuan, di negeri orang tentu menjadi sasaran empuk mereka yang ingin berbuat jahat. Untuk berjaga-jaga, Aristi selalu mengantungi alat kejut-listrik. “Saya belinya pas di Bandung.”
Alat itu ternyata bermanfaat ketika di Beijing ia nyaris dirampok. Awalnya ia kebingungan karena jalan yang akan dilewatinya sedang diperbaiki. Lalu seorang pemuda menolongnya mengantar mencari jalan alternatif. Ketika di tempat sepi, pemuda tadi meminnta uang ke Aristi. Terpaksa “senjata” yang selama ini disimpan dikeluarkan. Berhubung Aristi tahu titik-titik lemah tubuh manusia, maka pemuda tadi langsung terjengkang tersengat listrik. Sebenarnya Aristi merasa kasihan karena tidak menduga hasil sengatan listrik seperti itu. Akan tetapi karena terancam ia pun segera bergegas pergi.
Kapokkah Aristi dengan petualangannya itu? Tentu saja tidak. Ia bahkan sudah menyusun rencana tahunan untuk solo touring menyusuri beberapa negara. Beberapa negara Asia sudah masuk dalam daftar tunggu. Mengapa Asia? Karena lebih menantang dibandingkan dengan Eropa. “Di Eropa semua sudah well-prepared. Jalur sepeda sudah ada, camping ground yang aman dan nayaman ada di setiap pinggiran kota. Komunikasi tidak masalah,” kata Aristi yang sudah mencoba jalur Belanda – Belgia seorang diri dan menuju Mont Blanc bersama legenda touring Indonesia, Bambang Hertadi Mas.
Banyak pengalaman yang didapat Aristi saat touring dengan sepeda. Pengalaman yang belum tentu bisa diperoleh jika menggunakan alat transportasi lain. Hal inilah yang membuatnya ketagihan untuk melakukan apa yang ia sebut meditation journey.
fotonya bagus….
keren om