Pendakian Gunung Slamet: Sia-sia Bawa Tenda!

netfit.id – Gunung Slamet disebut sebagai atap Jawa Tengah karena menjadi gunung tertinggi di Provinsi yang saat ini dipimpin oleh Ganjar Pranowo, salah seorang calon presiden yang moncer dalam berbagai survei. Dengan puncak berketinggian 3.428 mdpl, Gunung Slamet seperti titik menjulang di tengah kepungan gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah seperti Sindoro (3.135 mdpl), Sumbing (3.371 mdpl), atau Merbabu (3.145 mdpl).

Untuk mendaki Gunung Slamet, ada enam pintu masuk yang resmi. Bambangan (Purbalingga), Baturaden (Purwokerto), Dipajaya (Pemalang), Cemara Sakti (Pemalang), Kaliwadas (Brebes), Guci (Tegal). Jalur Dipajaya dan Cemara Sakti akan bertemu dengan jalur Bambangan. Sementara jalur Baturraden jarang dilewati karena treknya lebih sulit dibandingkan dengan jalur yang populer seperti Bambangan.

Setelah tertunda beberapa waktu, akhirnya kami sukses mendaki G Slamet via Bambangan. Awalnya mau lewat Baturraden. Namun karena pingin santai akhirnya berpindah jalur ke Bambangan. Jalur ini pernah digunakan oleh Franz Wilhelm Junghuhn, ahli botani dan geologi asal Jerman pada 1853. Junghuhn mendaki puncak Gunung Slamet melalui kampung Priatin, sebelah timur Kutabawa.

Kami sengaja memilih di hari kerja biar lebih sepi jalurnya. Jadilah Selasa 24 Januari 2023 kami berempat bertemu di Stasiun Pasar Senen untuk menuju ke Purwokerto. Mengambil keberangkatan yang nanggung, kami sampai di Stasiun Purwokerto sore sekitar pukul 16.00.

Menyempatkan diri kulineran di Warung Sate Kambing Muda “Putra Saudara”, kemudian berbelanja bahan makanan, kami pun segera menuju ke penginapan di Base Camp Bambangan. Ternyata jalur menuju Bambangan dari Purwokerto menarik juga. Sayang sudah malam.

“Wah asyik nih buat sepedaan,” ujar salah satu dari kami. Ya, kami semuanya bertemu lewat sepeda. Jadi ya pembicaraan lebih banyak menyangkut soal persepedaan. Jika kali ini naik gunung sebagai selingan aktivitas.

Masjid yang menjadi tetenger kawasan pintu masuk G Slamet via Bambangan. Jika cuaca cerah, masjid ini bakal terlihat dari puncak atau selepas Pos 9 Plawangan.

Sesampai di BC kami bertemu dengan Mas Rohman, yang akan menjadi porter kami. Dalam hal mendaki gunung, kami tidak mau repot-repot dan seheroik zaman dulu. Eh, dulu aku sih belum naik gunung. Jadi bisa dibilang pendaki telat. Disepakati besok pagi akan mulai mendaki sekitar pukul 09.00.

Selain memakai porter, kami pun tak mau bersusah payah naik. Jadi selama ada ojek ya dimanfaatkan saja. Alasan lain karena berangkat sudah kesiangan. Gegara porter lupa jadwal kami naik. Dikiranya di akhir pekan. Enggak tahunya di hari biasa. Bisa jadi si porter sudah kadung janji dengan acara lain.

“Ojek di sini beda sama yang di Sumbing. Jalurnya juga bertanah kok,” kata Mas Rohman, porter kami. Toh tetap saja aku selalu deg-degan dengan yang namanya ojek pegunungan.

Ada dua tawaran ngojek. Sampai pos bayangan, atau lebih jauh lagi: pos 1. Untuk sampai pos bayangan bayar Rp 30.000. Sementara kalau sampai pos 1 jadi Rp 70.000. Pilihan kami tentu mudah ditebak. Sampai Pos 1! 🙂

Dibandingkan dengan ojek Sumbing atau Argopuro, memang ojek Slamet ini lebih ramah penumpang. Tentu karena kontur jalannya yang dominan tanah. Tapi entah jadinya kalau habis hujan apakah jalannya nyaman atau enggak. Semalam memang hujan tapi tidak deras. Pagi itu cuaca juga cerah. Selepas gerbang selamat datang ke kawasan pendakian Bambangan, jalanan mulai tanah. Jalur ban ojek sudah tercetak dengan dalam. Tinggal mengikutinya saja. Perlu keterampilan dan mesin yang mumpuni untuk menapaki jalur itu.

Di Slamet via Bambangan ini ojek menjadi sangat membantu. Memangkas waktu yang lumayan.

Enaknya jalan di hari biasa itu jalur pendakian relatif sepi. Seperti saat kami memulai pendakian dari Pos 1 tidak ada pendaki lain yang kami sua. Kami langsung terpencar setelah beberapa ratus meter mendaki. Masing-masing dengan pace nyaman dan saling menunggu di setiap pos atau shelter.

Pos 1. SIap-siap berangkat. Masih seger karena ngojek.

Di Pos 2 aku bertemu dengan rombongan dari Bandung. Ternyata, sewaktu menginap bareng di Shelter Pos 5, ternyata kami pernah bareng-bareng berkemah di Alun-alun Suryakencana Gunung Gede. Terlalu lama menunggu rombongan belakang akhirnya aku meneruskan ke Pos 3. Rombongan Bandung masih betah ngariung di Pos 2.

Meski bukan termasuk kawasan Taman Nasional, pepohonan di jalur pendakian dari Pos 1 tadi seperti tak terjamah perambah hutan. Pohon tinggi besar dengan lumut mengitari batang pohon adalah hal yang biasa. Kesuburan pohon itu ditunjang oleh curah hujan Gunung Slamet yang memang termasuk tinggi di kawasan Indonesia. Menyuplik dari situs banyumaskab.bps.go.id, Wikipedia menyebutkan bahwa Gunung Slamet merupakan gunung dengan suhu rata-rata paling dingin di pulau Jawa serta curah hujan tahunan paling tinggi di Indonesia yaitu 8.134,00 milimeter (mm) per tahun.

Sebelum Pos 3 ini gerimis mulai turun dan makin membesar membuat aku stop di Pos 3. Menunggu sendirian dalam hujan yang makin deras akhirnya keramaian datang juga dengan munculnya rombongan Bandung tadi yang rupa-rupa kondisi mereka. Ada yang pakai mantol, ada yang tidak. Membiarkan baju yang mereka pakai basah kuyub. Alhasil mereka begitu sampai di shelter Pos 3 ini langsung buka baju dan memeras air hujan yang terserap baju. Beberapa dari mereka masih ada yang bertelanjang dada sampai beberapa waktu. “Kuat dingin juga mereka,” pikirku.

Sama seperti di Pos 2 tadi, mereka membuka bekal. Malah lebih lengkap lagi dengan memasak air. Aku pun ditawari minuman hangat. Dalam suasana yang dingin karena hujan makin deras, sangat disayangkan kalau ditolak kan? Aku pun mulai membuka bekal karena sudah saatnya makan siang. Aku harus disiplin soal ini kalau tak mau diserang sakit kepala karena telat makan.

Tak lama kemudian datang Joy. Kemudian disusul Mas Nug dan Sony serta Mas Rahman porter kami. Seperti yang sudah kami obrolkan sebelumnya, sepatu mas Nug jebol. “Sejak pensiun aku tidak pernah pakai sepatu lagi. Kemana-mana pakai sepatu sendal,” kata Mas Nug yang sudah pensiun sekitar empat tahunan. Pakai sepatu pertama kali ya pas naik Gunung Gede tahun kemarin.

Di Shelter Pos 3 kami cukup lama istirahat. Selain menunggu reda hujan, juga makan bekal kami. Siang sudah mendatangi kami. Perut tentu minta diisi. Beruntung shelter di sini cukup luas. Sama seperti pos 2, shelter di sini sebenarnya warung yang karena hari biasa tidak buka. “Ramainya kalau Sabtu Minggu,” kata Rahman. Pas ramai itu warung banyak yang buka.

Keberadaan wargun, warung gunung, seperti itu tentu membantu para pendaki. Tidak perlu banyak membawa logistik, perut tetap asyik. Asal bawa uang tunai banyak. Jangan berharap bisa bayar dengan QRIS (yang minta diucapkan sebagai “kris”).

Ketika hujan mereda, ketika rombongan Bandung sudah jalan duluan meski masih gerimis, kami pun beringsut meninggalkan Pos 3. Mas Nug bertukar sepatu dengan Mas Rahman. Tak hanya bertukar sepatu, tetapi juga mengambil alih keril Mas Nug.

Pepohonan bertambah pekat. Jalan setapak tak banyak pilihan. Pos 4 tidak ada shelter seperti Pos sebelumnya. Hanya ada tetenger yang dipakukan di sebuah pohon. Beberapa jalur harus merunduk.

Akhirnya sampai Pos 5, tempat kami mau ngecamp. Di sini terlihat banyak wargun yang – tentu saja – tutup. Dalam artian tidak jualan karena warungnya terbuka. Ada shelter tertutup yang masih ada orang di dalamnya. Namun terlihat sudah beberes.

Bersama rombongan dari Bandung itu kami pun berbagi shelter. Dalamnya memang luas. Ada amben dari kayu juga yang dipakai untuk para cewek. Tinggal memasang terpal atau flysheet sebagai pembatas, maka terciptalah kamar darurat. Tinggal gelar matras dan tidur dengan sleeping bag maka tenda yang kita bawa pun jadi menganggur.

Sementara yang tak kebagian amben cukup beralaskan tanah. Meski dingin padahal sudah pakai matras, tapi lebih nyaman daripada pasang tenda. Apalagi ada pintunya sehingga bisa lebih tertutup di malam hari nanti.

Masih sore di Pos 5 ini sehingga kami ngeriung di salah satu warung. Hujan kembali turun meski tidak deras. Perbekalan kami buka di atas meja jualan. Begitu juga dengan kompor. Sony masih setiap dengan kompor spiritus. Aku menyiapkan kompor gas.

“Pakai misting ini cukup gak untuk bikin nasi liwet?” tanya Sony.

“Cukuplah,” jawabku mengira-kira saja. Belakangan ternyata hampir luber nasi liwetnya.

Menjelang malam kami pun sudah kenyang dengan nasi liwet dan segala penganan. Tinggal tidur dan subuh bersiap-siap untuk summit attack.

Pos 3 Pondok Cemara dan Po3 4 Samaranthu

***

Hampir subuh kami segera meninggalkan shelter Pos 5. Rombongan Bandung sudah berangkat duluan. Karena mau summit attack, tak perlu bawa keril. Cukup backpack saja. Kompor dan minuman sachet untuk gaya-gayaan di puncak. Selebihnya ya air minum.

Jalur masih menyisakan basah hujan semalam. Tapi tidak terlalu licin. Kami semua menggunakan plastik untuk melindungi kaos kaki karena sepatu masih basah. Setelah melewati beberapa rute ini, aku jadi mikir. Untung ngecamp di Pos 5. Kami awalnya berencana ngecamp di Pos 7 yang kebetulan ada shelter juga.

Beberapa jalur harus membungkuk, atau melewati jalan sempit dengan tebing tinggi kanan kiri. Sesekali pendar-pendar lampu kota muncul dari gerumbulan. Pos 6 tidak ada wargun atau apa pun untuk istirahat. Hanya ada batang pohon tumbang jika ingin duduk-duduk. Kami terus lanjut. Beberapa kali harus memanjat akar pepohonan.

Di Pos 7 ketemu dengan rombongan Bandung tadi. Benar, di sini ada shelter. Namun tidak sepenuhnya tertutup. Bagian atas terbuka. Meski lebih bersih dibandingkan di Pos 5 yang ada tempat sampah di pojokan.

Dari sini sudah tersua pohon cantigi. Pertanda puncak sudah dekat. Memang dekat, tapi ketika tutupan sudah habis di Pos 9 Plawangan, ada dua PR untuk bisa sampai puncak triangulasi. Pertama, ada plang “Batas Aman Pendakian/Dilarang Melintas”. Kedua, selepas Plawangan ini yang ada jalur berbatu ke menanjak dengan kemiringan rata-rata 30-an derajat. Banyak batu lepas, dari sekecil gundu sampai sebesar kepala. Kebayang kalau ada batu meluncur dari atas dan kita sedang menapak ke atas. Memang ada banyak batu besar untuk berlindung.

Ketika melihat ke atas, aku lihat rombongan Bandung sedang bersama-sama beringsut sedikit demi sedikit menuju puncak. Nun jauh di atas, ada dua rombongan – masing-masing berdua – sudah melewati lebih dari separo perjalanan.

Tak ada jalur yang pasti. Namun banyak jalur itu sebagian besar bermuara ke atas. Tinggal cari yang enak didaki.

Butuh beberapa kali berhenti. Bukan untuk beristirahat, namun lebih untuk menikmati keindahan alam. Mensyukuri keagungan ciptaan Tuhan. Saat perjalanan sudah menyisakan sepertiga jarak, kita bisa melihat laut di dua sisi. Beruntung cuaca mulai cerah.

Agak bingung ketika sudah sampai di atas, tetiba jalan ke puncak triangulasi kepentok dinding. Ternyata setelah diamati lagi ada bebatuan yang bisa dipakai untuk menapak memanjat dinding. Begitu dinding terlewati, aku pikir akan ketemu bibir kawah. Ternyata kawah masih di sisi utara. Pagi itu terlihat kepulan tipis dari kawah. Dari tempat aku berdiri, puncak triangulasi ada di sisi timur. Segera aku menuju ke sana dan melihat dua rombongan tadi sudah berfoto-foto di sana.

Aku pun segera berfoto-foto narsis bin najis. Dari sini bisa melihat kemiringan rute yang aku daki tadi. Sekilas terlihat Sony, Mas Nug, dan Joy sedang beringsut mendaki. Puas berfoto dan memotokan orang, karena diminta rombongan depan tadi, aku pun mengeluarkan isi ransel. Ada air seliter, kompor gas serta tabungnya, dan beberapa minuman sasetan.

Pagi itu cuaca cukup bersahabat. Dari atap Jawa Tengah ini kami bisa melihat deretan gunung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ada Ciremai yang menjadi atap Jawa Barat. Kemudian kami menebak-nebak Gunung Gede-Pangrango. Juga Gunung Cikuray di Garut. Sementara di sisi lain ada G Sindoro – Sumbing. Deretan Pegunungan Dieng. Juga sepertinya Merapi – Merbabu.

Bisa melihat pantai utara sekaligus pantai selatan Jawa.

Puas di atas, kami segera turun. Tak semudah dibayangkan karena batu-batu lepas. Joy sempat terpeleset. Aku baru merasakan pentingnya sarung tangan. Namun turun adalah kepulangan. Setelah apa yang diinginkan tercapai. Tiada lagi beban. Meski lewat jalur yang sama, rasa yang mengiringi tentu beda.

Sampai pos 5 kembali disambut nasi liwet bikinan Mas Rahman yang gak ikut muncak. “Sepatu saya aja yang muncak,” katanya.

Boleh melintas tapi sudah di luar cakupan asuransi.

Setelah kenyang dan istirahat sebentar, kami pun mengepak barang dan segera turun. Sempat ditemani gerimis, namun tidak selebat waktu naik. Aku berpapasan dengan beberapa pendaki yang mau naik. Seperti biasa, ada yang bertanya, “Pos 5 masih jauh Mas?” Selalu kubilang sebentar lagi.

Sampai Pos 2 ternyata warungnya kali ini buka. Bisa jadi pas kami berangkat karena masih pagi jadi belum buka. Jadilah ada senam mulut sembari menunggu Mas Nug dan Sony.

Seperti berangkat, pulang pun kami kembali mengojek. Ternyata ada sedikit kendala bonceng ojek turun. Pijakan kaki yang sudah oblag tak bisa digunakan untuk menahan berat tubuh agar tak maju mendorong Kang Ojek. Terpaksa tangan memegang pegangan sekeliling jok bagian belakang. Pas perjalanan pulang enak dan nyaman saja. Ketika sudah sampai di basecamp baru terasa kedua tangan pegel.

Sehabis mandi air hangat dan membuka-buka media sosial, aku membayangkan bagaimana Junghuhn mendaki Slamet pada 1853. “Sampai ketinggian 1.400 m di mana-mana masih terdapat kebun rakyat, dan setelah itu sampai ketinggian 1.700 m yang ada hanya hutan pinus. Selanjutnya melalui hutan lebat dengan kayu-kayuan yang besar sampai ketinggian 2.600 m, di sini sebagian jalan setapak harus dirintis karena tertutup semak belukar. Sampai ketinggian sekitar 3.220 meter masih terdapat berbagai tumbuhan dan kayu, di antaranya kayu tanganan dan wanarasa, dan makin ke atas lagi di puncaknya gundul, yang ada hanya batuan lepas,” kira-kira begitu laporan Junghuhn.

Sore selepas diguyur hujan, kami segera berkemas-kemas menuju Purwokerto. Tak lupa menikmati sroto Jalan Bank sebelum malamnya ke stasiun dan merebahkan badan yang lelah ke kursi kereta yang membawa kami ke Jakarta.

Bagaimana ke Bambangan?

Banyak transportasi menuju Bambangan. Kalau saya ke Purwokerto naik KA. Lama perjalanan sekitar 5 jam. Ada eksekutif ada ekonomi. Rentang tiket antara Rp200.000 – Rp400.000. Pesan jauh-jauh hari lebih murah.

Dari Stasiun Purwokerto bisa sewa angkot. Rentang harga Rp500.000 – Rp750.000. Jika sampai di Stasiun masih siang bisa kulineran dulu.

Basecamp di Bambangan ada banyak. Aku di Mas Rahman. Lupa nama BC-nya. Jasa porter sekitar Rp750.000 untuk dua hari satu malam. Menginap di BC bisa ngampar atau sewa kamar. Sewa sekamar sekitar Rp500.000 bisa diisi dua atau tiga orang.

Menuju Pos 1 bisa menggunakan ojek dengan ongkos Rp70.000. Jika sampai Pos Bayangan Rp50.000. Tapi tanggung menurut saya.

GuSSur

Menghidupi setiap gerak dan mensyukuri setiap jejak.

View all posts

2 comments

Leave a Reply to Dede Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Creating a cozy reading nook can be a wonderful way to unwind. Choose a comfortable chair, add soft blankets and cushions, and surround yourself with your favorite books. Immerse yourself in captivating stories or explore new worlds through literature. The tactile experience of turning pages and the mental escape into fictional realms provide a perfect avenue for relaxation. Enhance the ambiance with soft lighting and perhaps a soothing cup of tea.

Recent Comments