Etape terakhir menjadi berat karena harus berangkat pagi demi sampai Padang sebelum pukul 17.00, karena peserta akan disambut gubernur dan wakilnya di Gubernuran. Hujan sisa semalam masih menyisakan gerimis yang menusuk tulang. Pukul 04.00 peserta sudah memperoleh morning call.

Hari masih gelap ketika rombongan meninggalkan The Hills. Gerimis masih turun dengan ritmis seiring dengan pendar lampu sepeda para peserta. Kali ini rombongan menjadi panjang karena ada tambahan sekitar sepuluh peserta ~ perwakilan dari salah satu sponsor utama Jelajah Sepeda Sabang Padang.

Rute menuju Padang agak melambung karena melewati Solok. Tujuan antara adalah Danau Singkarak, tempat bermukimnya ikan bilih yang hanya ada di Danau Toba dan Singkarak.

Sekitar 10 km di awal jalan relatif datar dan menanjak halus. Sempat berhenti sebentar meski kayuhan belum panas karena rombongan tambahan yang menguntit salah jalan.

Melewati Pandai Sikek yang terkenal dengan kain tenunnya, lalu disambut oleh tanjakan. Nah, setelah tanjakan berakhir, jalan menurun menuju Danau Singkarak adalah balasan yang setimpal. Matahari juga mulai menampakkan diri sehingga tubuh terasa hangat. Terlebih saat jalan datar kecepatan ditarik yang membuat rombongan belakang terseok-seok.

Di tepi Danau Singkarak rombongan berhenti untuk mencari napas. Kesempatan yang digunakan oleh sebagian peserta untuk membeli ikan bilih. Tumpukan ikan ini sudah menarik perhatian saat rombongan melintas di tepi danau.

Cuaca kembali tak menentu begitu memasuki Kabupaten Tanah Datar. Walau bernama Tanah Datar, namun kontur jalanannya tak berarti datar. Namun ini bisa dijadikan sebagai pemanasan untuk mengakrabi tanjakan Solok.

Tantangan terberat dalam jalur ini memang tanjakan di Solok. Elevasi bisa menyentuh di angka 1100-an mdpl. Jarak sekitar 130 km dan kepotong shalat Jum’at. Plus harus sampai Padang sebelum pukul 17.00.

Medali JSSP

Makan siang dan Jum’atan dilakukan di km 90an. Bukan tempat istirahat yang ideal sebenarnya karena berada di tanjakan, tak ada tempat istirahat yang teduh dan nyaman, serta warung buat ngopi atau ngeteh. Pilihannya lebih karena di daerah Gunung Talang ini diperkirakan semua peserta dapat berkumpul kembali untuk melaksanakan shalat Jum’at di sebuah masjid.

Sementara peserta muslim melakukan shalat, peserta nonmuslim memanfaatkan waktu yang ada untuk istirahat. Om Gusur yang semalam muntah-muntah karena pencernaannya sudah tak mampu menolerir makanan serba pedas, tidur pulas di teras rumah penduduk beralaskan kardus bekas buah pir. Sementara salah seorang Srikandi memanfaatkan waktu luang untuk mandi karena cuaca yang panas. Lainnya mengudap pisang kipas atau mengobrol ditemani segelas kopi.

Dari Gunung Talang ini masih ada tanjakan sejauh kurang lebih 15 km. Jika sebelum istirahat Jum’atan tanjakan lebih berupa tanjakan panjang, kini tanjakannya pendek namun berkelak-kelok. Sayangnya, tak banyak pepohonan di kanan kiri.

Sebelum patung jago yang ada di Kota Solok, jalan relatif datar namun berlubang presisi karena sedang dalam proses penambalan. Harus hati-hati saat menghindarinya sebab lalu lintas mulai ramai. Dari sini ~ sepanjang sekitar 5 km ~ masih ada rolling sebelum peserta dininabobokan oleh turunan sepanjang sekitar 30 km menuju Padang.

Sebelum turunan beton ini RC Marta memberikan penjelasan singkat seputar turunan ini dan apa yang bisa peserta jelajah lakukan agar selamat karena beberapa turunan curam dan berkelok. Beruntung saat melintasi turunan beton ini tidak turun hujan. Namun kabut mulai turun saat memasuki kawasan wisata Danau Diatas dan Danau Dibawah. Sedikit titik air menerpa kulit tubuh. Entah dari mana sumbernya.

Danau Diatas

Insiden kecil terjadi saat akan memasuki Padang dan hujan sudah mulai turun. Om Santa sepertinya keasyikan dengan turunan sehingga ketika jalanan datar tidak menyadari roda terperosok pada sebuah lubang. Dari belakang Om Donald tak bisa mengendalikan sepedanya sehingga menabrak sepeda Om Santa dan terjatuh. Namun tak ada luka diantara mereka.

Mendekati Gubernuran semangat peserta jelajah mulai terpompa. Apalagi hujan sudah agak reda. Yel-yel “Kopi-kopi” yang disahuti dengan teriakan “Join…” bergema sampai akhirnya masuk ke kantor pusat pemerintahan Sumatra Barat.

Di sinilah ~ di pelataran kantor gubernur ~ seluruh peserta meluapkan kegembiraan yang tiada tara. Saling jabat tangan ala goweser, saling peluk, dan tanpa terasa air mata beberapa peserta luruh.

Another unique style of architecture appears around Bukittinggi - that of the Minangkabau people. Highlux Photo

Beberapa pejabat yang menunggu di teras seperti terbius oleh suasana haru itu. Sebuah spontanitas yang jika dinilai dari sisi protokoler sebuah birokrasi pasti dilarang. Toh tetesan air mata itu dapat dipahami. Setelah 13 etape plus sehari pemulihan, setelah kondisi mental dan fisik harus selalu siap menempuh jengkal kilometer, setelah rindu orang yang dikasihi terbelenggu, kini saatnya untuk mengakhiri itu semua. Kepenatan sepanjang kurang lebih 1500 km itu luruh oleh tetes air mata haru.

Jozlyn

Work hard, bike harder.

By riding a bicycle, I learn the contours of my country best, since i have to sweat up the hills and coast down them.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments