Setelah bermalam di tepian danau Tondano, Alief El-Ichwan ~ pedalis asal Bandung ~ meneruskan penjelajahan hari kedua menyusuri Sulawesi. 

Pedalku.com – Semalam beberapa kali terbangun. Hujan turun dan dari pohon tepat berada di atas tenda ~ entah pohon apa namanya ~ buah sebesar kelereng berjatuhan.

Menjelang pagi, burung-burung terdengar riang berceloteh di atas dahan. Subuh-subuh saya menuju tepian danau yang berbatu, membuang sebagian muatan perut.

Ketika hendak menjerang air, saya agak ragu mengambil air. Meski kecipak ombak air danau Tondano telah membuyarkannya, saya masih teringat ritual subuh tadi. Untungnya masih ada air di bidon untuk minum. Air dari danau akhirnya digunakan untuk merebus telur. “Sekedar pengganjal perut sebelum makan di warung nanti,” pikir saya sambil mengeringkan tenda yang basah.

Jika memikirkan gowes Trans Celebes ini, ada perasaan bergetar dan nyali agak ciut. Betapa tidak? Penjelajahan gowes kali ini, saya harus melalui pegunungan dan lembah yang dalam dengan hutan yang nampak masih perawan. Saya tak berlatar belakang dari komunitas pencinta alam ataupun penempuh rimba. Pengalaman gowes seperti ini pernah saya rasakan saat Trans Sumatra, berdua dengan kang Popo. Sedangkan saat ini saya bersepeda sendirian.

Suasana rimba ini terasa ketika ke luar Manado menuju Tomohon dan Tondano. Selepas danau Tondano, jalan memang datar. Namun disebelah kanan, gugusan pegunungan menyeruak pada kawasan landai layaknya sebuah dinding batu.

Meski rute menyusuri pantai, namun tetap aroma hutan terasa karena jalan dibuat di kaki pegunungan. Sisi kiri terlihat tebing tinggi dengan di atasnya pepohonan, sedang di kanan lembah yang dalam.

Jalur yang saya tempuh merupakan jalan Trans Sulawesi sebelah Utara. Dari sejumlah informasi, rute ini agak datar ketimbang jalur selatan. Kota kecamatan berikutnya yang dilalui Kawangkoan, Tumpaan dan Amurang. Mengingat agak sulit mengucapkannya saat bertanya, saya hanya menanyakan arah Kotamobagu ~ tapi saya tak akan ke kota ini. Mengucapkan nama kota ini pun beberapa kali salah eja. Terlebih rasanya orang Sulawesi berbicara begitu cepat, sulit disimak ketika menjawab.

Penjelajahan kali ini saya tak mengejar kota seperti saat gowes Trans Andalas. Di Sulawesi kebanyakan kota kecil setingkat kecamatan. Saat memutuskan tempat untuk beristirahat hanya berdasarkan intuisi semata. Perhentian kedua pun saya putuskan di rumah makan di pinggir pantai di Tenga.

Benar saja! Intuisi saya tak keliru. Saat menunggu pesanan ikan bakar, hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Akhirnya, saya putuskan untuk bermalam di rumah makan itu. Terlebih hari telah menjelang sore. Sang pemiliknya pun mengijinkan. Saya tidur di atas kursi panjang di luar bagian rumah makan dengan lantai pasir. Tidur cukup terlelap ditemani simfoni deburan ombak.

Esok harinya ~ sebelum pemilik warung bangun ~ saya menyempatkan diri membuat teh dan mie rebus. Saya kurang suka masakan dengan menu ikan, lebih baik makan mie rebus meski tanpa telur. Apalagi ~ meski dekat laut ~ harga ikan bakar setelapak tangan dan cah kangkung yang lebih banyak batangnya, dihargai Rp 35 ribu.

Masih menyisir pantai, jalanan begitu lengang. Sesekali kendaraan melintas. Jalanan turun naik dan berkelok mengikuti lekuk pulau. Saat jalan menanjak, bibir pantai jauh berada di bawahnya. Pemandangan berupa lekuk bibir pantai dengan laut biru serta garis cakrawala nampak elok. Sinar matahari mempertegas pesonanya.

DSCN0757

Namun resikonya, udara begitu cepat terasa panas. Belum jam 9, peluh sudah terasa membasahi tubuh. Bidon tempat air cepat habis, hingga harus segera diisi dengan membeli minuman kemasan ke warung yang tak sulit didapat.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari 80 km, saya memutuskan untuk berhenti. Tempat wisata pantai Molosing di kota kecamatan Lolak menjadi tujuan untuk tempat bermalam. Namun tak ada tempat yang layak untuk dijadikan tempat beristirahat.

Kembali ke jalan semula, terlihat sebuah masjid. Menginap di Masjid Al-Munawarah di desa Muntalo, kecamatan Lolak, menjadi pilihan saya. Kabarnya, di kabupaten Bolaang Mongondow memang terdapat banyak masjid.

 

Foto dan cerita : Alief El-Ichwan.

Jozlyn

Work hard, bike harder.

By riding a bicycle, I learn the contours of my country best, since i have to sweat up the hills and coast down them.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments