Mengawali etape kesepuluh ini peserta jelajah sudah melewati jarak 1000 km lebih. Sebuah jarak yang panjang. Melewati beberapa kota, beberapa tanjakan, juga beberapa turunan. Banyak yang tak mengira bahwa akhirnya bisa menggowes sejauh itu. Entah bagaimana upaya menggapainya. Seorang peserta bahkan seperti tak percaya telah menembus angka 1000 km. Turing yang dilakoninya hanya sebatas 100 atau 200 km.
Berangkat sekitar pukul 07.30 dari Hotel Natama 1, tim jelajah menyambut pagi membelah keramaian kota salak. Padang Sidempuan memang dikenal dengan penghasil salak.
Padang Sidempuan berasal dari “Padang na dimpu” (padang=hamparan luas, na=di, dimpu=tinggi) yang berarti “hamparan rumput yang luas yang berada di tempat yang tinggi.” Dahulu kala merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah, karena semakin ramai akhirnya menjadi kota. Kota ini dibangun pertama kali sebagai benteng pada 1821 oleh pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Lelo. Benteng ini membentang dari Batang Ayumi sampai Aek Sibontar. Padang Sidempuan pernah dijadikan pusat pemerintahan oleh penjajah Belanda di daerah Tapanuli. Padang Sidempuan berada di tengah lembah Bukit Barisan. Puncak tertinggi dari bukit dan gunung yang mengelilingi kota ini adalah Gunung Lubuk Raya dan Bukit (Tor) Sanggarudang yang terletak berdampingan disebelah utara kota. Salah satu puncak Bukit yang terkenal di kota padang Sidempuan yaitu Bukit (Tor) Simarsayang.
Jalanan relatif datar. Justru cenderung menurun. Jika ada tanjakan tak sampai rombongan tercerai berai dengan jarak berjauhan. Regrouping di km 15, eh berhenti lagi di km 20. Kali ini karena ada monumen Benteng Huraba.
Monumen Benteng Huraba (Benhur) diresmikan pada 21 November 1961. Dibangun untuk mengenang perjuangan gigih rakyat Angkola Sipirok bersama dengan TNI dan Kepolisian dalam menghadapi agresi militer Belanda. Mereka berjuang mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia dan membuat benteng pertahanan di desa Huraba. Pada tanggal 5 Mei 1949, Belanda melakukan penyerangan ke Benteng Huraba. 16 pejuang dari TNI AD dan 11 pejuang dari Kepolisian gugur dalam pertempuran mempertahankan Benteng Huraba yang dipimpin oleh Komisaris Polisi Maskadiran.
Dari elevasi 200an kontur cenderung turun bahkan sempat menyentuh angka di bawah 100 mdpl. Cuaca amat mendukung. “Sejuk nih, enak buat gowes,” komentar peserta dari Jakarta. Matahari memang masih malu untuk tampil. Cuaca sejuk selain karena matahari belum muncul juga karena daerah ini dikitari perbukitan. Di pucuk-pucuk gunung masih tersisa halimun tipis.
Sempat regrouping kembali di km 45an di sebuah SPBU yang menyediakan tempat penginapan. Sayang, toiletnya cuma dua dan bau lagi. Jadinya banyak yang mengurungkan niat. Yang agak aneh, dari sebuah pengeras suara terdengar lagu Sunda dari sebuah stasiun radio lokal.
Makan siang tinggal sebentar lagi. Di sekitar km 65. Sayangnya masih ada tanjakan yang harus dilalui. Padahal dari SPBU jalanan menurun landai. Cocok untuk menjadi pelipur lara sebelum makan siang.
Kembali nasi kotak dengan menu ala Minang menemani makan siang peserta jelajah, plus ikan bakar. Meski kotak tapi patut diacungi jempol soal rendangnya. Nendang banget. Apa ini menjadi menu penghantar untuk di Padang nanti? Namun jika diperhatikan, di Padang Sidempuan menunya sudah berbau Minang.
Perjalanan tinggal separuh lagi. Jadi istirahat siang bisa lebih leluasa. Banyak yang memanfaatkan untuk tidur siang. Soal tempat bisa di mana saja. Ada yang di lantai rumah makan yang merupakan rumah panggung, ada yang di kursi, ada juga di tempat tidur yang ada di pojokan rumah makan.
Istirahat yang agak lama tadi sangat membantu sebab tak seberapa jauh dari rumah makan jalanan menanjak. Mau tak mau harus begitu karena Kotanopan berada di elevasi 400an mdpl sementara rumah makan selevel dengan Padang Sidempuan, 200an mdpl.
Tanjakan tadi melintasi sebuah pesantren yang sangat terkenal di Sumatra Utara. Pesantren yang terletak di daerah Purba Baru itu merupakan pesantren binaan NU bernama Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Pesantren Musthafawiyah ~ lebih dikenal dengan sebutan pesantren Purba Baru ~ didirikan pada tahun 1912 oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily. Merupakan salah satu pesantren tertua di Sumatra. Setelah Syeikh Mushafa meninggal dunia pada NOvember 1955, pimpinan ponpes beralih ke anak tertuanya, H. Abdullah Musthafa Nasution.
Tahun 1962, ruang belajar dibangun dari sumbangan para orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng serta dari tabungan H. Abdullah Musthafa Nasution ~ kemudian bangunan tersebut diresmikan oleh Jend. Purnawirawan Abdul Haris Nasution. Para santri putra dilatih kemandiriannya dengan membangun pondok tempat tinggal mereka. Ribuan pondok yang terhampar di Desa Purba Baru ini menjadi pemandangan unik di jalan lintas Sumatera. Saat ini pesantren Purba Baru diasuh oleh H. Bakri bin Abullah bin Musthafa Bin Husein bin Umar Nasution.
Sungguh tersemangati oleh sambutan para santri yang kebetulan sedang santai itu. Para santri itu tinggal di gubuk-gubuk sederhana di pinggir jalan. Mereka yang ada di dalam kamar langsung menjulurkan kepala ikut bersorak.
Kembali regrouping dilakukan setelah melakukan kayuhan sejauh sekitar 20 km. Kebetulan ada rumah makan yang buka 24 jam. Peserta jelajah yang datang duluan langsung memesan teh manis dan kopi. Begitu yang lain berdatangan pesanan pun mulai beragam. Salah satunya mi rebus.
Selama menunggu peserta terkumpul hujan turun cukup deras. RC memutuskan untuk memberi jeda agak lama. Reda atau tidak sebelum pukul 16.00 rombongan harus kembali bergerak. Ternyata hujan sudah mulai reda saat tim jelajah meneruskan gowesannya.
Masih ada tanjakan sekitar 4 km sebelum diganjar turunan cukup panjang. Setidaknya 10 km turunan membuai tim jelajah. Sampai kemudian jalanan menyusuri sungai yang arahnya berlawanan, artinya jalan menanjak halus.
Jarum jam belum sempat menyentuh di angka 6 ketika akhirnya rombongan masuk ke halaman Pesanggrahan Kotanopan. Di rumah ini dulu Soekarno, presiden pertama RI memberikan pidato pada sebuah rapat raksasa. Semoga roh pidato Soekarno memberi semangat tambahan tim jelajah yang tinggal beberapa hari lagi menyelesaikan perjalanan Sabang – Padang.
Add comment