Netfit.id, Ciptagelar – Ajakan gowes ke Ciptagelar dengan tikum di Ciptagelar dari teman menggugah minatku. Akibat pandemi Covid-19, aktivitas mengayuh pedal sedikit berkurang. Setidaknya tidak bisa bersepeda ke kantor karena peraturan mengharuskan kerja dari rumah.
Ciptagelar, tepatnya Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Wilayahnya meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi.
Berdiri sejak tahun 1368, kampung yang berada di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut dengan suhu berkisar 20 – 26 derajat Celsius, ini masih memegang kuat adat dan ajaran leluhur seperti ciri khas lokasi, bentuk rumah, serta tradisi yang masih dijalankan oleh penduduknya.
Gowes ini juga sebagai tetirah penutup tahun 2020.
Aku berangkat agak pagian dari rumah di kawasan Condet, sekitar 4.30 demi mengejar tak kemalaman saat masuk hutan Cikaniki. Jika di peta G-Maps, dari Jakarta menuju Ciptagelar harus memutar melalui Pelabuhan Ratu Sukabumi atau Citorek “Negeri di Atas Awan” Lebak.
Nah, seorang teman mengajak untuk menyingkat jalur dengan melewati jalur setapak di kawasan Hutan Cikaniki. Jalur ini menjadi arus lalu lintas penduduk Ciptagelar ke wilayah Perkebunan Teh Nirmala untuk banyak urusan, salah satunya berdagang.
Aku membayangkan jalur setapak itu seperti jalur dari Pondok Pemburu ke Gunung Pancar beberapa puluh tahun silam sebelum menjadi “jalan raya” seperti sekarang ini. Dalam artian masih bisa dilalui sepeda dengan sedikit “syarat dan ketentuan” yang berlaku.
Menuju hutan Cikaniki jika dari Leuwiliang Bogor harus menanjak ke Perkebunan Teh Cianten dan lanjut ke Cipeuteuy. Nanti akan bertemu dengan pertigaan tusuk sate, ke kiri ke arah Pelabuhan Ratu Sukabumi, ke kanan ke Cikaniki atau Pameungpeuk.
Jika sampai Cipeuteuy jalanan sudah mulus, baik diaspal maupun dibeton, menuju Cikaniki kita harus terbiasa dengan makadam. Kita nanti akan melewati gerbang masuk Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Mereka yang suka bersepeda offroad di daerah sini sudah hapal betul di mana saja gerbang masuk seperti ini.
Melewati jalan makadam naik turun ini membawa kita ke Perkebunan Teh Nirmala. Sebelumnya kita akan melintasi Cikaniki Research Station, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pusat penelitian ini bisa menjadi penginapan pengunjung yang ingin menikmati Canopy Trail Gunung Halimun Salak. Awalnya kanopi berketinggian antara 15 m dan 25 m dari permukaan tanah ini dibuat untuk pengamatan beragam satwa di area hutan hujan terluas di Pulau Jawa. Ada beragam burung, juga primata Owa Jawa yang bisa diintip di sana. (Saat kembali dari Ciptagelar aku sempat melihat owa di ketinggian pohon).
Jalan makadam masih menemani kayuhan Thrill Cleave 1.0. Guyuran gerimis dan sisa-sisa tumpahan air hujan sebelumnya membuat aku harus pintar-pintar mencari jalan agar tak terpeleset. Tak jarang harus TTB (tuntun-tuntun bike) karena tanjakan terjal dan roda belakang tak memperoleh “gigitan” yang kuat di bebatuan yang basah.
Memasuki kawasan perkebunan teh Nirmala, sejauh mata memandang hamparan hijau. Di kejauhan sisi kanan bukit-bukit berselimut kabut menambah eloknya pemandangan. Karunia Tuhan yang membuat diri ini semakin kecil saja.
Di rute ini kita akan bertemu dengan jalanan menurun ke desa wisata Citalahab. Inilah salah satu penginapan lain selain resort penelitian Cikaniki tadi. Ada banyak tempat penginapan di sini. Juga tempat berkemah. Buat mengenalkan dunia alam ke anak-anak, Citalabah bolehlah dicoba. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan anak-anak.
Tak lama setelah melewati kawasan Citalahab, barulah “pintu masuk” menuju Ciptagelar tersua. Tak ada penanda pasti, hanya jalan setapak yang bercabang dari jalan makadam.
Begitu masuk jalan setapak ini, langsung terasa kawasan hutan hujan. Pohon-pohon tinggi menjulang, sulur-sulur bergelantungan, dan tanah yang lembek.
Awalnya aku menikmati jalur setapak ini. Langsung turun menuju sungai yang airnya jernih sekali. Begitu nyebrang tak terasa ada lumut menggelayut di bebatuan. Berarti airnya terus mengalir. Deras. Bening.
Meski sambil menuntun sepeda, jalur setapaknya belum begitu menyulitkan. Namun begitu masuk ke dalam, terasa sekali yang namanya hutan. Entah, kapan terakhir aku menjumpai hutan sepepat ini. Pohon tumbang menghalangi jalan setapak, juluran akar seperti ular piton menusuk bumi, serta jalan berkubang. Untung tidak ada pacet.
Sore menjelang dan aku tidak tahu sudah seberapa jauh di hutan ini. Gerimis membuatku malas membuka ponsel untuk melihat lokasi. Yang ada hanya bergerak. Beberapa jalur mulai tak bisa dilalui dengan mendorong atau mengangkat sepeda. Terpaksa harus memanggul. Awalnya memanggul dengan menopang top tube ke pundak. Ternyata kurang nyaman. Lantas diberi tahu cara yang lebih nyaman. Posisi sepeda dibalik, ban belakang ada di depan. Kemudian pundak menopang ujung bawah sadel. Tangan kanan memegang chain stay.
Akan tetapi …. semua berantakan kalau sepedamu berat. Hahaha … pada awalnya nyaman-nyaman saja. Namun kemudian menjadi pegal. Akhirnya memakai bantalan mantol plastik. Lumayan membantu.
Gelap kemudian membekap. Masih belum keluar hutan juga. “Perlu pasang lampu aku? Tapi agak ribet ngeluarinnya,” aku bertanya.
“Enggak usah,” sebuah jawaban menggema.
Sepedaan di malam hari sudah lumrah bagiku. Melewati tengah hari pun sudah biasa. Begitu juga menyusuri hutan di malam hari sudah mengisi hari-hariku dulu. Bahkan hutan yang belum terjamah, dan hanya mengandalkan arah lewat kompas. Zaman ketika Android belum lahir.
Namun menggabungkan kedua aktivitas itu, baru kali ini kulakukan. Fisik sudah drop. Jadi hanya mengandalkan mental saja untuk terus melangkah. Beruntung, mata masih cukup awas dan sigap melihat sekeliling.
Tersuruk-suruk aku melewati tanjakan bersulur, atau turunan berkubang. Dan tidak tahu masih berapa lama harus melewati jalur ini.
“Awas, hati-hati! Pinggirnya jurang itu!” sebuah suara mengingatkanku di tengah gemericik aliran sungai di kejauhan.
Benar saja, begitu roda depan sepeda menginjak jalan setapak itu, sebagian tanah runtuh meluncur di kegelapan. Entah seberapa dalam.
Akhirnya keluar hutan juga. Bersua dengan sawah dengan tanaman padi yang masih berusia sekitar sebulan. Istirahat di sebuah saung, aku memandang ke kejauhan. Bukit-bukit terlihat mengitari persawahan yang subur ini.
Aku mengira Ciptagelar sudah dekat. Persawahan subur menjadi penanda, kampung yang menyatu dengan alam dan tak pernah kekurangan beras. Bulan tak tampak. Namun langit bersih. Aku bisa melihat dengan jelas pematang yang sempit, mengular di hamparan sawah. Gemericik air mengalir melalui selokan-selokan di beberapa sisi pematang.
Melintasi pematang sawah terkadang kakiku terperosok di sawah. Roda depan menapak pematang, sementara roda belakang menggantung di atas sawah atau saluran air karena cara itu memudahkanku untuk bergerak. Aku tak peduli lagi dengan sepatuku. Mungkin juga dengan belut yang rumahnya terinjak sepatuku.
Di tepi persawahan, sebuah jembatan dengan bentangan dua bambu dan pegangan tangan satu bambu membuatku tercekat. Di bawah arus sungai deras mengalir. Membawa badan saja melewati jembatan belum tentu bisa, apalagi mengangkat sepeda?
“Om Gus nyebrang saja. Sepedanya nanti aku yang bawa,” sebuah suara melepaskan beban ketakutanku.
Selepas jembatan masih menjumpai persawahan. Hanya sudah tak sebanyak sebelumnya. Jalanan mulai mengarah ke perkampungan. Aku sudah sedikit lega. Sebentar lagi bisa merebahkan tubuh yang penat sangat ini.
Benar saja, gonggongan anjing membuncahkan hati yang sudah kelu. Tapi, ketika aku bersua dengan rumah-rumah yang ada, kok bukan seperti yang ada dalam gambar-gambar.
“Kampung Ciptagelar ada di balik bukit itu.” Deg! Jadi, masih harus berapa lama lagi aku mengayuh?
Jalanan sudah bukan tanah becek lagi. Juga bukan setapak. Tapi makadam. Tapi tetap saja pergerakanku tak menjadi lebih cepat. Mau memasang lampu takut kehilangan jejak menuju ke Ciptagelar. Tapi tanpa lampu meski bisa melihat makadam, tidak jeli juga memilih jalan, Alhasil terkadang harus terhenti juga. Menuntun kembali sepeda.
Nyaliku menciut ketika tiba-tiba saja dua petunjuk jalan melesat di kegelapan malam. Terpaksa aku membongkar tas, mengeluarkan lampu. Aku tak mau tersuruk-suruk di makadam tak bertepi ini.
Rasa takut menjalar ketika memasang lampu. Hening di sekitar. Rintik hujan masih membasuh tubuhku.
Ketika lampu menyala, aku mulai pede. Meraih kembali motivasi menuju Ciptagelar. Ahai … ternyata di depan sana aspal mulus menggantikan makadam. Kelap-kelip lampu penunjuk mulai terlihat. Jalan menanjak aku lahap dengan riang gembira. Begitu juga turunan. Melibasnya dengan ringan. Membuntuti kelap-kelip lampu penunjuk, menjejerinya, dan meninggalkan di belakang meski tak tahu juga jika ada percabangan di depan.
“Balai Desa Sirnaresmi” begitu aku baca papan petunjuk. Oh, ini yang namanya kampung Sirnaresmi, Cisolok.
Aku tak lagi mempedulikan jalan yang mulai makadam lagi. Juga tanjakan. Tenagaku seperti terisi kembali. Aku pun mulai sering bertemu dengan pengendara motor, baik yang menyusul atau berpapasan.
Setelah mendaki tanjakan makadam, akhirnya aku sampai juga di sebuah tanah lapang. Di sisi kanan ada lapangan voli. Di depanku sedang ada persiapan pertunjukan wayang golek.
“Oh ini yang namanya Kampung Ciptagelar,” aku membatin.
Rasa lega seperti banyu sewindu menyusuri tenggorokanku. Apalagi membaca sebuah kalimat “Imah Gede”.
Aku segera menyandarkan sepeda pada pagar rumah penduduk, membongkar tasku, dan menuju ke kamar mandi umum. Bukan untuk mandi, tapi mencuci sepatu, kaos kaki, celana, jersey, dan sarung tangan. Sedikit demi sedikit lumpur mulai tanggal. Aku injak-injak semua agar lumpur enyah dari pakaian. Sama seperti kelelahan yang perlahan-lahan pergi, tergantikan dingin menusuk tubuh.
Air bak kamar mandi itu cokelat. Membuatku tak bersemangat mandi. Toh aku guyur juga badan ini. Menuang sabun, membasuhkannya ke tubuh, dan membilasnya. Secepat kilat aku menyambar handuk, mengeringkan tubuh dan memakai pakaian bersih.
Di beranda Imah Gede aku merebahkan tubuh, sembari menunggu ruang dalam kosong. Ada pertemuan, entah membahas apa. Dari beranda ini aku bisa mendengarkan wayang golek yang berlatih untuk malam tahun baru nanti.
Ketika ruangan dalam Imah Gede kosong, aku segera beranjak ke dalam. Mencari tempat di pojokan, lalu merebahkan kembali tubuh yang mulai segar ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku harus segera tidur. Dalam damai Ciptagelar. Sambil berpikir bagaimana esok kembali ke Jakarta.
Add comment