Beberapa hari berada di Bumi Sulawesi, Alief El-Ichwan ~ pedalis asal Bandung ~ terkesan dengan keramahan dan keterbukaan warga Sulawesi. Keramahan itu menjadi berkah dalam menyelesaikan penjelajahan di Sulawesi.
Pedalku.com – Pagi hari di Lolak, Bolaang Mongondow ~ saat bermain di pantai ~ saya bertemu dengan suami-istri yang sedang bersepeda. Noval Alamri, sang suami, merupakan pegawai Departemen Perhubungan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, yang berkantor di kota Boroko.
Kembali saya disuguhi keramahan dan silaturahmi yang tulus. Istrinya yang berasal dari Sidoarjo, membuatkan nasi goreng dengan telur dadar yang enak. Sang istri pernah belajar di Bekasi, Jawa Barat.
Keramahan warga Sulawesi memang sangat mengesankan saya. Paling mengharukan, ketika menginap di masjid Nurul Yakin di desa Tomiloto kecamatan Atinggola, Gorontalo Utara. Masjidnya tak begitu besar. Letaknya sekitar 2 km setelah memasuki Provinsi Gorontalo. Ustad yang sedang mengajar ngaji dan memberi tausiah, menyodorkan tempat makanan. Ketika dibuka, terlihat nasi dengan dua potong lauk. Menerima kebaikan ini, mata saya berkaca-kaca dan sulit untuk mengucapkan sepatah kata.
Namun seperti kebanyakan daerah Sulawesi, nyala listrik sering byar-pret. Mati lampu menjadi biasa. Begitu pula di masjid ini, malamnya terpaksa menggunakan genset. Sehingga setelah usai kegiatan shalat dan mengaji, lampu dimatikan. Untungnya saya membawa lampu tenda dan lampu sepeda. Saya pasang lampu tenda sebagai penerangan.
Rupanya nyala lampu ini, menarik perhatian serangga malam. Bahkan seekor tawon pun ikut nimbrung. Kehadiran tawon tampaknya mengganggu seekor semut yang sudah dulu berada di lampu tenda. Sang semut menjepit erat tawon.
Dari perkelahian itu, saya ketiban getahnya. Tengah malam saya terbangun dengan kekagetan luar biasa. Ada sengatan di telinga kiri. Ketika diraba terasa bengkak dan panas, hingga membuat saya sulit tidur kembali. Esoknya ~setelah sarapan ~ saya melanjutkan penjelajahan menuju kota Gorontalo, dengan telinga masih bengkak akibat sengatan di malam itu.
Perjalanan ke kota Gorontalo melalui jalanan menanjak arah kota Gorut. Suasananya cukup sejuk, sesuai dengan slogan dari kota itu, “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah” yang berarti hidup bermasyarakat berlandaskan adat dan agama. Ketika memasuki Kwandang sekitar 53 km sebelum kota Gorontalo ~ Ibu Kota Provinsi Gorontalo ~ ada sesuatu yang telah lama saya dambakan, Soto Ayam! Sudah seminggu ini kurang selera makan. Pada siang hari, lebih memilih makan pisang.
Puas menikmati soto ayam, perjalanan ke kota Gorontalo dilanjutkan. Jalan membentang di depan begitu panas, cukup menguras tenaga. Dua ruas jalan cukup ramai dengan kendaraan.
Dari kota Gorontalo saya putuskan untuk menyeberang menggunakan fery ke Ampana, Sulawesi Tengah. Tapi penyeberangan ke Ampana harus menunggu sehari, menunggu jadwal penyeberangan berikutnya karena tidak setiap hari ada penyeberangan ke Ampana.
Besoknya, penyeberangan ke Ampana menggunakan kapal fery ‘Tuna Tomini’. Tuna Tomini berlayar jam 8 malam dengan transit terlebih dulu di Wakai, kota kecil di kepulauan Togia, di tengah Teluk Tomini.
Tiba di pelabuhan Wakai jam sembilan pagi. Saat menunggu bongkar muat, para penumpang turun ke darat untuk membeli sarapan pagi. Kapal Tuna Tomini berangkat kembali sekitar jam 11 siang setelah menambah penumpang dan mengangkut dua truk dan satu bekhoe.
Akhirnya sekitar jam 4 sore Tuna Tomini merapat di pelabuhan Ampana, saat hujan turun.Untuk ke kota Ampana, saya masih harus mengayuh pedal sejauh 15 km. Di Ampana saya menginap di sebuah masjid, 200 meter dari lampu lalu lintas pertama.
Lagi-lagi saya menerima kebaikan jemaah bernama haji Mohamad (58). Haji Mohamad rumahnya persis di depan masjid. Ketika paginya hendak melanjutkan gowes, beliau mengajak saya ke rumah, menikmati segelas kopi susu.
Selama menjelajah di Sulawesi, masjid menjadi alternatif yang tepat. Selain jarangnya penginapan, jemaah masjid juga menerima saya dengan tangan terbuka. Keramahan dan keterbukaan warga Sulawesi yang membuat saya sangat terkesan.
Foto dan cerita : Alief El-Ichwan.
Add comment