Netfit.id, Jakarta – Judul artikel ini memang masih bisa digugat. Makanya, Netfit.id mempertanyakan, apakah Jogja masih layak disebut sebagai kota sepeda?
Mari, kita mengingat era 80-an. Mereka yang sekolah di Jogja era 80-an akan mengingat, di parkiran sekolah mudah dijumpai sepeda dari pada motor. Anak SMP yang menggunakan motor bisa dihitung dengan jari dan mereka akan parkir di warung sekitar.
Dari buku karangan Dr. Sidik Jatmika, M.Si yang berjudul Genk Remaja: Anak Haram Sejarah Ataukah Korban Globalisasi netfitzen bisa memperoleh setitik bukti bahwa Jogja mulai kehilangan jati dirinya sebagai kota sepeda.
Dalam buku terbitan Kanisius itu terungkap banyak hal mengenai perkembangan geng remaja di Jogja pada era tahun 1970-an hingga 1980-an. Geng remaja? Apa hubungannya dengan sepeda?
Dikisahkan buku itu, di tahun-tahun itu, marak sepeda minicross atau sepeda BMX di seputaran DIY. Tidak sedikit remaja-remaja itu yang bergabung menjadi sebuah klub atau bahkan membentuk geng sepeda. Mereka pun banyak mengikuti perlombaan-perlombaan sepeda minicross.
Namun tidak sedikit kelompok-kelompok ini malah bergeser ke arah geng remaja. Tidak jarang mereka melakukan konvoi atau yang sekarang dikenal dengan nama Klitih di jalanan Jogja. Namun kelilingnya naik sepeda lho, bukan sepeda motor. Dan akhirnya berkembang ke persaingan corat coret nama geng di tembok-tembok.
Dari sini kita mengenal Joxsin dan Qzruh.
Kiwari, geng-geng sepeda ini berkembang menjadi geng-geng sepeda motor di Jogja. Klitih pun mengemuka di tengah raungan knalpot motor anak-anak yang banyak belum memiliki SIM C.
Terbaru, data polusi udara dari Kementerian Lingkungan Hidup menunjukan selama enam bulan pada 2019, Jogja hanya memiliki 50 hari dengan kualitas udara baik, dan 92 sisanya kualitas udara jogja terpantau moderat hingga tidak sehat. Dalam laporan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2019, kualitas udara di Jogja juga dilaporkan mengalami penurunan dalam kurun waktu lima tahun.
Guna mengatasi persoalan tersebut, berbagai elemen masyarakat Jogja berkolaborasi meluncurkan Kampanye Jogja Lebih Bike. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran warga Jogja dan pemangku kepentingan tentang masalah polusi udara serta mendorong perubahan baik di sisi kebijakan hingga perilaku masyarakat dalam memilih moda transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Dalam sebuah webinar, Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Sc dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM) menyatakan, “Seiring dengan pertumbuhan laju motorisasi yang pesat, sumber bergerak atau transportasi darat terbukti menyumbang lebih dari 60% dari total emisi di Jogja.
“Terdapat tiga opsi kebijakan untuk mengatasi permasalah ini, yaitu mengurangi jumlah atau jarak perjalanan, inovasi teknologi dan efisien, serta perpindahan ke moda transportasi yang ramah lingkungan. Jogja Lebih Bike tentunya merupakan inisiatif yang sangat baik karena mendorong masyarakat melakukan perubahan pilihan moda transportasi yang minim emisi.”
Sebagai bagian dari kolaborasi dengan Jogja Lebih Bike, Pustral UGM saat ini tengah melaksanakan Studi Kelayakan Bersepeda (Bikeability Study).
Dalam mobilitas harian, 88% masyarakat Jogja masih sangat bergantung pada kendaraan bermotor, terutama sepeda motor dan hanya 2,6% warga yang telah bersepeda (Kompas Data, 2020). Inisiatif Jogja Lebih Bike hadir sebagai gerakan bersama masyarakat dalam menghidupkan kembali sepeda sebagai bagian dari aktivitas harian dan wujud kontribusi kolektif dalam menciptakan udara yang lebih bersih di Jogja.
Kerja sama berbagai mitra mulai dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga komunitas pesepeda melalui Jogja Lebih Bike dibangun untuk menggerakkan percakapan publik tentang pentingnya kualitas udara yang baik dan mendorong partisipasi warga dalam menciptakan udara bersih melalui kegiatan bersepeda.
“Survei terhadap 500 responden di Jogja menunjukkan bahwa polusi udara ternyata termasuk dalam tiga isu terpenting bagi warga Jogja selain penanganan Covid-19 dan kriminalitas. Selain itu 62,5% masyarakat yang tinggal di kota Jogja menilai kualitas udara di lingkungannya tidak baik namun memiliki optimisme bahwa kondisi kualitas udara dapat membaik dalam beberapa tahun ke depan”, ungkap Nurul Fatchiati, Peneliti Litbang Kompas, yang berkolaborasi menyelenggarakan Survei Persepsi Publik tentang Polusi Udara bersama Jogja Lebih Bike.
Untuk membantu masyarakat mendapatkan data kualitas udara secara real-time, Jogja Lebih Bike juga bekerja sama dengan Nafas – sebuah perusahan rintisan dengan jaringan sensor kualitas udara terbesar di Indonesia. Lima sensor kualitas udara telah dipasang di berbagai titik polusi di Jogja yaitu di Gondolayu (Tugu), Sayidan, Umbulharjo, Jembatan Janti, dan di kampus UGM.
Piotr Jakubowski, co-founder dan Chief Growth Officer Nafas menyatakan, “Data kualitas udara yang dapat diakses secara mudah dan real-time saat ini masih terbatas, padahal data kualitas udara menjadi penting untuk dijadikan acuan bagi masyarakat dalam beraktivitas, terutama bagi kelompok sensitif, misalnya anak-anak, orang lanjut usia, dan orang dengan penyakit pernapasan. Data real-time kualitas udara dapat diakses secara mudah dan gratis melalui aplikasi Nafas maupun situs Jogja Lebih Bike.”
Jogja Lebih Bike mengajak warga Jogja untuk mengisi komitmen bersepeda di www.jogjalebihbike.id. Selain mengedukasi masyarakat tentang polusi udara melalui media sosial Instagram dan berbagai kegiatan lainnya, kampanye ini juga mengajak para pesepeda untuk membagikan cerita mereka melalui #jogjalebihbike. Diharapkan cerita ini dapat menginspirasi seluruh masyarakat Jogja untuk turut mendukung gerakan kolaboratif ini. Jogja Lebih Bike didukung oleh Kompas Data, Kompas TV, Pustral UGM, Nafas, Srengenge, Sego Segawe Reborn, dan lebih dari 24 komunitas pesepeda Jogja.
Add comment