Penjelajahan Alief El-Ichwan di Sulawesi mulai memasuki provinsi Sulawesi Tengah. Selain tetap menemukan keramahan dan keterbukaan masyarakat Sulawesi, berbagai hal tak terduga mewarnai perjalanan Alief di sekitar danau Poso.
Pedalku.com – “Hati-hati kalau memasuki Poso.” Begitu bunyi sebuah sms kekhawatiran dari adik di Jakarta. Namun dari informasi warga desa yang saya lalui, keadaannya sudah aman. Terlebih saya tak akan memasuki kota Poso, karena 3 km sebelum masuk ke kota yang sering diberitakan banyak kerusuhan itu, saya berbelok ke arah Tentena menuju Danau Poso.
Dari Ampana saya tidak langsung menuju Poso. Saya sempat bermalam di desa Mawomba, kec. Tojo Barat, Sulawesi Tengah. Menginap di masjid At-Taqwa, menerima kebaikan seorang jamaah yang sedang mengadakan syukuran.
Menuju Poso, ada beberapa bagian jalan sedang diperbaiki, sehingga arus kendaraan digilir dengan jarak sekitar 10 km. Situasi ini cukup menguntungkan. Pada jalur ini saya bisa menikmati pemandangan tepian pantai dengan leluasa. Bukit Batu Meja dan Batu Merah serta jembatan Kayunyole 3, menyajikan pemandangan eksotik.
Awalnya saya agak kecewa setiba di Tentena. Kok, danau Poso seperti ini? Di pinggir danau penuh warung. Padahal saya ingin berkemah lagi seperti di danau Tondano. Rasanya tak ada bagian yang indah di danau ini. Selain ada sebuah perahu yang tertambat, juga ada keramba-keramba untuk ternak ikan. Paling menarik ada jembatan yang terbuat dari kayu yang diberi atap. Jembatan ini, merupakan jembatan lama yang kini menjadi ciri khas Kota Tentena.
Untuk mencapai kota Tentena, butuh perjuangan yang melelahkan. Tanjakan dimulai dari kecamatan Pandiri dengan rute jalan mengikuti lekuk pegunungan. Paling mengesalkan, ketika jalan terasa menurun tapi masih harus tetap digowes.Saya pun memeriksa kedua roda ban sepeda, memastikan ban tidak terjepit rem. Ternyata ketika menengok ke belakang jalan memang menanjak.
Walau di pinggir danau Poso penuh warung, namun tak banyak yang menjual makanan non-ikan, ada satu warung yang jualan telur rebus. Beruntung ketika membeli air minum di tempat lain, pemilik warung memberikan secara gratis dua buah pisang yang tergeletak di meja.
Menuju Tentena, berarti saya mulai memasuki jantung pulau Celebes. Suasana rimba makin terasa. Lembah yang dalam dipenuhi pepohonan yang tinggi menjulang. Terdengar suara gemuruh air dari bawah, ditingkahi suara burung ~ entah jenis apa.
Tiba di Tentena menjelang jam 5 sore. Kali ini, saya tak memilih istirahat di masjid. Sebuah Guest House sederhana bertarif Rp 50 ribu menjadi pilihan, walau ada masjid cukup besar. Letak masjid itu tak sepelemparan batu dengan sebuah gereja.
Awalnya saya mengira danau Poso mengalami penyusutan. Ternyata saya keliru, danau Poso begitu luas. Bagian danau di Tentena hanyalah seperti ekornya. Sekiranya saja kemarin melanjutkan gowes, saya akan menemukan tempat kemping seperti di danau Tondano.
Saat menyusur pinggir danau Poso, saya menjumpai hal yang tak terduga. Ada perkampungan masyarakat Bali. Mereka bertransmigrasi sejak tahun 1978. Salah satu transmigran itu bernama Gusti Ngurah Gurem, berasal dari Tabanan Bali. Ia dan anak gadisnya sedang mempersiapkan sebuah upacara di sawah miliknya.
Para transmigran dari Bali ini merupakan transmigran yang ulet bekerja. Sawah, kebun kakao atau coklat serta cengkeh menjadikan mereka makmur. Walau telah bertransmigrasi cukup lama, adat-istiadat asalnya tak luntur. Bangunan pura nampak di setiap rumah mereka. Juga klangenan mereka terhadap ayam dengan kurungan khas Bali. Disini, saya seperti menemukan sepotong ranah Bali di pulau Sulawesi.
Duh, ada yang saya lupa! Persediaan air di bidon tinggal sedikit ketika asyik menyusuri pinggir danau Poso. Di perkampungan terakhir, desa Tapia, tak ada satu warung pun yang buka. Lebih celakanya, saya mengira penyusuran danau Poso sudah berakhir disini. Ketika saya tunjukan peta pada seorang warga, ternyata saya masih berada pada bagian pertengahan jalan di pinggir danau.
“Di sana ada beberapa beberapa jalan pendakian yang cukup tinggi, juga jalannya rusak. Sebagian sedang diperbaiki,” kata seorang warga memberi informasi.
Tak ada pilihan lain, saya harus terus melanjutkan menyusuri danau Poso. Benar saja! Ada tanjakan yang tak bisa saya lalui dengan digowes. Saya pun mendorong sepeda. Awalnya jalan menanjak itu rimbun dengan pepohonan seperti memasuki gua, tetapi semakin ke atas, jalan itu berada di lahan terbuka.
Di kiri-kanan jalan hanya tumbuh ilalang yang tinggi. Meranggas ~ berwarna coklat muda ~ karena digarang cahaya matahari. Tak ada bagian jalan teduh untuk sejenak beristirahat. Jalan terus menanjak. Saya harus tetap mendorong sepeda, diselingi berhenti sejenak setelah dua puluh langkah. Nafas memburu. Panas matahari mengharu biru. Kendaraan motor hanya sesekali melintas. Selebihnya lebih sering menemukan kesenyapan.
Akhirnya air minum dalam bidon pun tandas. Mulut mulai terasa kesat dan kerongkongan kering. Sepeda masih terus saya dorong, karena jalan masih terus menanjak. Ada keinginan untuk mencegat pengendara motor dan meminta air ~ tapi mereka tentunya tak membawa air minum.
Saat memusatkan tenaga untuk mendorong sepeda, terasa semilir angin begitu sejuk. Ilalang seperti membuat tarian. Sesaat saya tertegun manakala bunga rumput liar yang berada di kiri dan kanan jalan merunduk dan mengangguk-angguk pada arah yang berlawanan.
Ah, jika angin dari arah kiri maka semua condong ke kiri. Saya hanya bisa menunduk menerima keberkahan alam yang memberi kesejukan ini.
Sesampainya di jalan menurun, saya tetap tak bisa menaiki sepeda. Jalan sedang dibeton. Ban sepeda yang saya rem sesekali menggelosor.
Namun perjalanan ini seperti impas ketika menemukan sebuah perkampungan di desa Boncea. Saya tak begitu menghiraukan anak-anak yang mengira saya turis asing. Minuman dingin segera saya reguk. Dan,…. di depan warung ada mata air yang jernih dan sejuk. Saya berendam setelah anak-anak puas berenang dan bercanda. Rasanya ada tenaga tambahan untuk melanjutkan perjalanan.
Foto dan cerita : Alief El-Ichwan.
Add comment