Netfit.id – Saat bertemu Sabtu petang, 5 Maret 2021 di sebuah kafe di kawasan Shinjuku, Tokyo, banker senior Antonius Ismoyo Jati, baru saja pindah hotel dari kawasan Ginza ke Shinjuku. Tangannya tak lepas dari tumbler, untuk menjaga hidrasi. Mas Jati—begitu panggilannya—sangat serius mengikuti Tokyo Marathon 2023 yang berlangung esok harinya. Target: Boston Qualified!
Mas Jati dari komunitas lari TrackTeam.id, salah seorang dari 330 pelari Indonesia yang bersama 38.000 pelari dari seluruh dunia ikut Tokyo Marathon 2023. Marathon terbaik di Benua Asia itu merupakan salah satu dari lima maraton utama atau world marathon majors (WMM). Lainnya yakni Berlin Marathon, Chicago Marathon, New York Marathon, London Marathon, serta Boston Marathon.
Bagi pelari Indonesia, Tokyo Marathon menjadi lokasi impian karena lokasinya yang relatif “dekat” serta salah satu tempat tujuan wisata yang menyenangkan. Seperti juga WMM lainnya, untuk bisa berlari di Negeri Sakura itu, peserta harus mengikuti ballot atau undian yang tidak mudah. Pelari yang mencoba peruntungan mendapatkan slot jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu orang. Sebuah peruntungan yang sulit. Banyak di antaranya yang hingga 4-5 kali mencoba belum juga berhasil mendapatkan kesempatan. Namun untuk pelari “sultan”, mereka mengikuti program amal (charity) atau mengikuti biro perjalanan yang ditunjuk. Jika lolos undian, peserta membayar uang pendaftaran sekitar Rp 2,5 juta- Rp 3 jutaan. Jika melalui jalur charity atau biro travel, harganya bisa mencapai Rp 40-50 jutaan atau lebih bahkan di atas seratusan juta rupiah.
Boston Marathon lebih spesial lagi, karena untuk menjadi pesertanya para pelari harus memenuhi syarat kualifikasi Boston Qualified atau BQ. Para pelari sesuai kelompok umur harus finis dengan waktu tertentu di sejumlah maraton yang ditentukan. Tidak heran jika kemudian, banyak pelari yang “mati-matian” berjuang untuk bisa mendapatkan kualifikasi tersebut.
Mas Jati termasuk salah satu di antaranya. Setelah melalui 10 tahun maraton dalam rentang delapan tahun, dia berhasil mencatatkan waktu terbaiknya di Tokyo Marathon yaitu 3 jam 22 menit 45 detik. Catatan waktu potensial BQ tersebut lebih baik 8 menit dari waktu dia sebelumnya.
Pelari yang saat muda seorang atlet tenis itu, benar-benar mempersiapkan diri dengan disiplin ketat dan terarah. Selama berbulan-bulan persiapannya, Mas Jati disiplin tidur pukul 21.00 dan bangun pukul 05.00 untuk berlatih lari. Dengan sepekan tujuh kali berlari, dia bisa menempuh jarak (mileage) hingga 100 kilometer, plus latihan penguatan sepekan dua kali. Bahkan untuk latihan penguatan, dia mengambil waktu makan siangnya. Selain memperhatikan waktu latihan dan istirahat, Mas Jati juga sangat menjaga makanan dan menghindarkan makanan goreng-gorengan. Kerja keras dan disiplinnya membuahkan hasil.
Para pelari lainnya juga demikian adanya. Setidaknya hal tersebut terlihat dari feed media sosial mereka. Latihan lari sudah ibarat makan obat: siang-malam, pagi sore dengan berbagai menu latihan. Latihan strength, lari turun naik tangga hingga hujan-hujanan demi menyelesaikan PR latihan menjadi hal bisa. Namun dengan berbagai kondisi, tidak semua dari mereka berhasil menyelesaikan Tokyo Marathon seperti yang dicapai Mas Jati. Wajar, karena setiap orang berbeda-beda kondisinya, bukan?
“Terserah apa kata orang, deh. Yang pasti, gue sangat berbahagia saat ini karena bisa finish happy dengan catatan waktu sangat baik. Pokoknya, gue terbaik buat diri gue sendiri,” kata Shandra Sunaryo. Pengusaha kuliner itu finish dengan catatan waktu 4 jam 40 menit 55 detik (net). Di tengah kesibukannya, hampir setiap Minggu, Shandra berlari long run di kawasan bebas kendaraan bermotor (CFD) Thamrin-Sudirman Jakarta.
Impian Pelari
Bagi para pelari Indonesia, berlari di Tokyo Marathon bisa dibilang merupakan impian di antara keinginan untuk mengikuti WMM lainnya. Di Negeri Saudara Tua itu nuansa Asia percampuran negeri super modern dengan nilai-nilai tradisional yang dipertahankan menjadi pengalaman berbeda dibandingkan dengan maraton di kota-kota dunia lainnya.
Saat pelaksanaan maraton, seluruh Tokyo praktis didedikasikan untuk hajatan terbesar yang melibatkan seluruh warga kota. Lalu lintas jalan raya dihentikan tidak masalah karena sistem transportasi umum sudah menjadi andalan. Disiplin tinggi warga Jepang diterapkan dalam hal buka-tutup jalan. Tokyo Marathon dikenal dengan “sweeper”-nya yang ketat. Di ruas-ruas kilometer tertentu, pelari diberi batas waktu untuk melewatinya. Jika terlambat sekian detik saja, tidak ada ampun mereka akan diangkut dengan bus yang telah siaga. Seorang runner AS, di medsos sempat curcol karena rekannya terlambat 18 detik saja tetapi tetap dicegat dan dinaikan ke bus dilarang melanjutkan lomba.
“Ganbate! Ganbate!” Sambutan masyarakat Tokyo maupun para tim hore yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia menyemangati para pelari sepanjang jalan. Bukan saja menerikan yel-yel, poster penyemangat hingga ke berbagai hiburan kesenian, warga juga menawarkan berbagai bantuan dari pinggir jalan. Tawaran permen, minuman hingga cokies banyak ditawarkan mereka. Sejumlah warga juga menyediakan, semprotan anti kraam bagi pelari yang membutuhkannya.
Sebuah pemandangan yang nyaris seperti mimpi bagi para pelari Indonesia, yang jika berlari di sebuah kota alih-alih mendapat dukungan dengan jalanan yang clear, tak jarang pengemudi lain malah mengabsen penghuni kebun binatang. Mereka merasa perjalanan mereka terganggu oleh aktivitas olah raga di kotanya.
Tak Ada “Offline”, Lari Virtual pun Jadi
Pandemi yang berlangsung sejak 2020, melahirkan banyak cara berkehidupan baru, termasuk di penyelenggaraan event lari. Tidak memungkinkannya manusia bergerombol dan harus menjaga jarak menyebabkan, penyelenggaraan lari pun diselenggarakan secara virtual.
Tidak terkecuali penyelenggaraan Tokyo Marathon pun demikian. Sejak tahun 2020, ketika Tokyo Marathon diputuskan ditunda karena pandemi, pihak penyelenggara menawarkan pelari melakukan maraton secara virtual. Para pelari ditantang untuk berlarli sejauh 42,195 kilometer yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja selama periode yang ditentukan. Kerinduan akan berlari menyebabkan, tantangan berlari maraton virtual pun bersambut.
Panitia Tokyo Marathon pun memberi keleluasaan kepada peserta. Pandemi yang juga menyebabkan orang membatasi ruang geraknya termasuk para pelari yang mengurangi masa berlatihnya menjadi perhatian. Mereka diperbolehkan berlari beberapa kali selama periode yang ditentukan hingga jumlah jaraknya mencapai 42,195 kilometer. Para peserta menunggah setiap hasil larinya dalam sebuah aplikasi lari yang ditentukan panitia. Tidak melulu harus berlari, para peserta Tokyo Marathon 2023 ini boleh jogging atau sekedar berjalan untuk melengkapi jarak yang ditentukan.
Seperti layaknya lari in person (offline), para pelari yang mengikuti event virtual pun mendapat medali penamat (finisher medal). Bedanya, medali tersebut dikirimkan ke alamat masing-masing peserta yang tersebar di seluruh dunia. Untuk menarik minat, penyelenggara juga menyediakan, 1.000 hadiah bagi finisher untuk bisa memenangkan slot Tokyo Marathon 2024.
Pandemi berlalu, penyelenggaraan event virtual ini tetap berlanjut, termasuk yang diselenggarakan penyelenggara Tokyo Marathon. Mereka yang tidak berhasil mendapatkan slot untuk bermaraton di Tokyo, bisa merasakan euforianya dengan mengikuti event virtual. Toh medalinya, sama-sama keren. Tetap semangat! (Agus Hermawan, marathoner, dari Tokyo)
Add comment